Oleh Ridwan Purwanto, S. Sos
Pengajar Komunikasi Antar Budaya di Kota Batam
Foto Kota Batam Diambil dari Atas Bukit Tanjung Uma oleh Ridwan Purwanto |
Saya rasa judul yang coba saya angkat ini cukup mendesak
segera direalisasikan mengingat semakin banyaknya konflik lahan di Kota Batam.
Tak elak adu jotos hingga anarki terjadi, kalau kita telisik secara hak dasar
hidup manusia memang sangat wajar jika warga akan tetap berani mempertahankan
ha katas tanah sebagai bagian kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan).
Tanah disini bagian dari Papan salah satu kebutuhan pokok
hidup manusia. Kota Batam menjadi semakin permisif sekali terhadap
cukong-cukong tanah dengan modal besar untuk membeli lahan. Sang penguasa lahan
(red: BP Batam) juga kurang berpihak kepada warga di kampong tua. Banyak sekali
perusahaan-perusahaan yang baru cepat sekali memperoleh hak penggunaan lahan,
namun warga yang sangat ingin sekali mengurus lahan mereka di kavling-kavling
atau kampung tua susah sekali.
Konflik lahan di Kota Batam kian marak kembali, masih kita
ingat dengan jelas konflik lahan di Bengkong Nusantara, Tanjung Uma, Bengkong
Swadaya, kini di Nongsa kembali bergejolak. Warga yang puluhan tahun menghuni
di lahan tersebut harus perang saudara untuk mempertahankan hak kebutuhan pokok
lahan ini.
Tulisan ini penulis memang tidak mengkaji hukum demi hukum,
peraturan demi peraturan yang bisa menghalalkan pengelolaan lahan di Kota Batam
hingga akhirnya seolah-olah “Kita Mengontrak Dinegeri Sendiri” ini ada di Kota
Batam. Penulis mencoba melihat sisi lain yaitu dari dampak sosial budaya dari
kebijakan yang belum ada ujung pangkalnya ini.
Seperti tulisan penulis yang terdahulu BOM Waktu WTO: Ketidakpastian Lahan di Kota Batam dan Kampung Tua
Riwayatmu Kini?. Penulis
bukan membuat takut namun memang begitulah realitanya BOM Waktu ini akan terus
berdetak hingga meledak kalau solusi untuk Kampung Tua di Kota Batam ini tidak
ada. Konflik semakin sering muncul, warga akan berjuang sekuat tenaga untuk
mempertahankan hak mereka, para pengusaha juga demikian merasa benar dan legal
karena telah memenuhi semua persyaratan akan pengelolaan lahan, BP Batam juga
sebagai pemeberi ijin juga merasa benar, Pemko Batam juga merasa benar,
Kepolisian juga merasa benar harus menindak pelaku anarki. Tak hayal BOM Waktu
konflik horizontal tak bisa dihindari.
Kalau kita kembali lagi dari awal tentang terbentuknya Batam menjadi Kota
Industri ini, seharusnya bisa sangat mudah sekali mengelola kembali lahan di
Kampung Tua ini, secara terlihat sudah jelas yang di tinggali warga. Namun dlih
investasi ini yang membuyarkan semua Perusahaan yang modal besar sangat mudah
menembus ruwetnya birokrasi PL dan WTO di Batam sedang warga belum ada wadah
yang pasti untuk bisa menembus WTO dan PL kampong tua selalu terbentur
peraturan.
Semua pihak yaitu BP Batam, Pemko, Pemerintah Pusat, DPR D, DPR RI, BPN,
harus bisa membuat peraturan revisi untuk pengelolaan lahan khususnya untuk
daerah pemukiman Kampung Tua, Kavling. Semua pihak berwenang ini harus mampu
membuat terobosan hingga bisa terbit apa itu UU/peraturan pemerintah/ SK yang
bisa membuat legal di lahan Kampong Tua dan Kavling sehingga warga bisa membuat
sertifikat.
Bisa dilakukan survey tentang hal ini kepada semua warga pasti warga
sangat mau sekali mengurus lahan mereka agar lahan mereka legal di mata hukum.
Namun mereka selalu kepentok dengan peraturan. Semoga ada peraturan yang bisa
menjembatani kesempatan warga mengurus sertifikat lahan mereka. Agar mereka
bisa tidur nyenyak tanpa khawatir di sodok ditengah malam.
Penulis sudah sering sekali berdialog dengan warga di kawasan kampong tua
bengkong, Tanjung Uma, Kavling, dll mereka sebenarnya juga tidak keberatan
mengurus lahan mereka, namun begitu mau mengurus sangat susah sekali
persyaratannya dan sulit untuk dipenuhi oleh warga kalau hanya swadaya satu
persatu. Peraturan mengharuskan harus berbentuk PT./ Koperasi untuk mengurus
WTO itu yang dikeluhkan warga. Sedang di kampung Tua juga sulit demikian. Mau
tak Mau warga ya menunggu kebaikan pemerintah, eh ditunggu hingga saat ini
belum ada juga. Hingga ada konflik ya terpaksa juga warga harus bertahan,
menjaga hak mereka. Hati kecil merek ajuga tidak mau konflik yang berujung
pengerusakan namun PT. selalu merasa menang dan mengabaikan hak warga. Wargapun
terpaksa melakukan kekerasan untuk membela diri dan lahannya.
Dasar pembuatan peraturan dulu untuk kebaikan pengelolaan lahan di Batam,
seiring berjalan perkembangannya peraturan ini justru menghimpit warga tempatan
dan warga lain yang tinggal di kampung tua. Warga di Kampung Tua dan Kavling
selalu was-was begitu ada informasi Perusahaan (PT) yang akan menggusur mereka
sewaktu-waktu karena secara bukti kepemilikan lahan yaitu sertifikat tidak ada.
Dalil perusahaan yang telah mempunyai hak dan sudah membayar WTO selalu saja
menang. Meskipun secara hati nurani dan logika mereka harusnya kalah karena
mereka datangnya belakangan perusahaan yang baru saya berdiri begitu mudah
sekali bisa mengelola lahan. Warga yang puluhan tahun harus mengalah dan
mengalah dan terus selalu mengalah kepada pemilik modal besar ini.
Selama ini warga kampung tua dan kavling belum ada yang membelanya,
bahkan saat kasus konflik Perumahan Glory dan Warga Bengkong Swadaya di
persidangan memenangkan PT. selaku pemilih hak lahan. Secara nurani begitu
menyakitkan hati para warga, meski warga juga salah karena melakukan pengerusakan.
Hal ini dilakukan juga bukan tanpa sebab tentunya.
Meski status lahan mereka sudah di SK kan di wilayang Kampung Tua atau
Kavling, namun jaminan tidak di gusur selalu ada apalagi kalau perusahaan yang
bermodal besar mampu membeli pengelolaan lahan tersebut. Abu-abunya status
lahan ini tetap saja warga diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan sesuai
dengan peraturan.
Jadi banyak sekali peraturan yang tumpeng tindih dan kurang berpihak kepada
warga kecil, kebijakan seolah-olah sangat welcome sekali kepada investor dan
mengabaikan warga tempatan yang sudah bertahun-tahun mendiami lahan itu.
Kasus-kasus ini kalau tidak segera di cari solusi akan semakin banyak,
warga di golongan kecil selalu jadi korban dari.
Solusi Persoalan Darurat Lahan di Kota Batam, dan menghindari BOM Waktu
Lahan Kampung Tua, Kavling dan WTOnya;
- Buat Satgas Anti Mafia Lahan di Kota Batam, kaji lahan kampung Tua, sesuai SK Walikota Batam, Mensinkronkan Peraturan agar tidak berbenturan dengan hak warga mendapatkan papan.
- Mendata pendudukan yang punya lahan di Kampung Tua dan Kavling oleh Lurah, RW, RT di pantau Camat dan Satgas.
- Menyiapkan Kebijakan dan peraturan yang memperkuat sehingga mekanisme pembuatan sertifikat lahannya bisa segera ada.
- Mengkaji kembali pengelolaan lahan Perusahaan-perusahaan yang abal-abal yang meresahkan warga.
- Peran serta semua pihak di pemerintahan kota Batam, DPRD, DPR RI, DPD, Gubenur, BP Batam peduli dengan nasib lahan Kota Batam, jangan sampai BOM Waktu Lahan meledak dan konflik horizontal/perang saudara di hindari.
- Jangan ada calo pengurusan lahan di Kota Batam nantinya dalam pengurusan Sertifikat.
Semoga sedikit solusi dan sedikit gambaran tentang dampak sosial budaya tentang Lahan di Kota Batam bisa di perjuangkan Rumpun Khasanah Warisan Batam (RKWB) untuk segera di perjelas nasibnya kepada pihak terkait.
Semua orang
pasti tidak menginginkan BOM Waktu Lahan di Kota Bata mini akan meledak, namun
apabila tidak segera ditindak lanjuti dan dicarikan solusinya tak hayal bisa
meledak. Kami penulis sebagai salah satu warga Indonesia hanya bisa berharap
bahwa kita tidak mengontrak saja di negeri kita sendiri di Indonesia?.
No comments:
Post a Comment